Suatu pandangan universal tidak akan tererosi oleh ruang dan waktu.  Berlaku di dunia ini maupun di bagian lain galaksi ini, baik di masa ini, masa lalu maupun masa yang akan datang.  Sekurangnya tidak terkungkung oleh batasan ruang-waktu yang sempit.

Kata “beriman” dan “solat” atau “sembahyang” diartikan dan didefinisikan secara berbeda-beda oleh para pemeluk agama dan kepercayaannya masing-masing.  Bahkan diantara pemeluk agama yang samapun bisa dimaknai secara sangat beragam.  Mudah-mudahan analogi dan keterangan / penjelasan berikut bisa lebih menyatukan persepsi kita semua, atau setidaknya memperkaya persepsi kita.

Solat

Makanan dan minuman disepakati sangat dibutuhkan oleh tubuh fisik manusia.  Kurangnya zat-zat makanan dan minuman ini bisa berakibat fatal terhadap tubuh fisik, demikian pula kalau berlebih.  Lebih jauh lagi kalau kita perhatikan lebih seksama zat-zat dalam makanan dan minuman ini penting juga bagi ”tubuh emosional” kita yang butuh akan ”asupan kenikmatan”.  Tubuh fisik biasa dihubungkan dengan energi pertama, cakra dasar, cakra pertama. Sedangkan tubuh emosional biasa dihubungkan dengan energi kedua, yang biasa disebut sebagai cakra sex, karena keceriaan tebesar adanya dalam hubungan sexual (demikian pula sebaliknya kesedihan terbesar juga di sekitar masalah ini).  Kebutuhan akan hiburan dalam arti kata luas adalah untuk memenuhi kebutuhan tubuh emosional ini.  Binatang peliharaan seperti anjing atau kucing mempunyai tubuh emosional yang sudah cukup berkembang.

Energi ketiga, cakra solar plexus biasa dihubungkan dengan tubuh intelektual yang juga  membutuhkan asupan-asupan ”energi pengetahuan”.  Kebutuhan akan berita-berita dari berbagai mass media adalah salah satu contoh kebutuhan untuk tubuh ini. Banyaknya pengetahuan tidak menjamin keseimbangan, karena bisa saja justru banyak pula pengetahuan yang berkontradiksi yang diserap.

Memakai analogi di atas, maka solat, sembahyang, meditasi dan yang sejenisnya kurang lebih adalah upaya-upaya untuk memberikan asupan-asupan energi bagi tubuh-tubuh yang lebih halus, yakni yang disebut tubuh-tubuh spiritual. Tapi bukankah solat, sembahyang (termasuk puasa) adalah sesuatu kewajiban yang ditujukan ke Atas yang ada diluar diri kita?  Hal ini baru tidak menjadi kontradiksi kalau kita mengerti arti ”Yang mencintai dan yang dicintai Satu adanya”, atau ”Sesungguhnya Semua itu Satu adanya,  tiada Keberadaan Selain Dia”. (Tubuh-tubuh spiritual meliputi: energi cakra keempat, kelima, keenam – cakra ketujuh adalah resultan energi cakra 1 s/d 6).

Kalau makanan dan minuman yang sehat bagi tubuh bisa dalam berbagai bentuk, rasa dan penyajian, begitu pula cara-cara sembahyang, meditasi dan sebangsanya.  Yang penting orang bisa melihat indikasi suatu tubuh apakah asupannya sudah berkecukupan, berkekurangan atau berkelebihanan.  Namun untuk mengukur / menilai tubuh fisik saja banyak orang yang pada prakteknya kesulitan, apalagi untuk tubuh-tubuh non-fisik (tubuh-tubuh spiritual bisa disebut sebagai ruh).

Yang lebih praktis untuk mengukur / menilai kondisi-kondisi tubuh-tubuh kita adalah dengan cara holistik atau menyeluruh.  Tubuh yang satu mempengaruhi tubuh-tubuh  lainnya, maka ketidak seimbangan di suatu tubuh bisa dilihat indikasinya di tubuh yang lain.  ”Tiada ketakutan dan tiada kesedihan” adalah ungkapan Al-Quran bagi mereka yang mendapatkan sorga, lebih tepatnya mendapatkan kedamaian (di akhirat dan di dunia juga).  Ini adalah indikasi kejernihan kedua energi cakra terbawah, yang berada di tubuh fisik (vitalitas, keberanian) dan tubuh emosional (keceriaan) yang juga mencerminkan kejernihan energi-energi cakra di atasnya [Namun perlu diperhatikan perbedaan antar kejernihan dan ketiadaan energi.  Seekor kucing yang kelihatannya tenang lebih mencerminkan ketiadaan energi-energi di atas cakra kedua].  Tentunya keberanian (nekad) dan keceriaan (uforia) yang berlebihan justru indikasi ketidak seimbangan.

Indikasi lain dari kejernihan secara holistik adalah ”Kemanapun arah kita memandang yang terlihat hanya wajah (kesejukan) Tuhan”.  Indikasi sebaliknya adalah kemanapun kita memandang yang terlihat hanya chaos, kegundahan, kemarahan, kegelisahan, kesedihan (rasanya syaitan dan iblis ada di segala penjuru, kemana para malaikat berada?).

Beriman

Kriteria beriman atau tidak, paling mudah diambil pengambarannya dari sosok syaitan/iblis yang ada dalam Al-Quran yakni: ”Mereka yang berputus asa terhadap RahmatKu”.  Artinya mereka tidak bisa melihat adanya sisi pemaafan, kasih sayang dari Tuhan atau Alam atau sosok-sosok yang ada disekeliling mereka, lalu merekapun berlaku seperti itu.  Dari pengalaman hidup mereka alam ini dirasakan penuh kekejaman, dunia ini keras, untuk bertahan hidup harus keras pula.  Yang bisa terlihat adalah sisi Ar-RahimNya, sisi keseimbangan alam.  Itupun dengan interpetasi ”mata dibalas mata”, ”yang kuat yang berkuasa”, ”survival of the fittest” dan sejenisnya.  Sedikit sekali atau hampir tidak ada yang namanya unsur pemaafan dan kasih sayang.  Sisi keseimbangan / keadilan senantiasa menurut persepsi diri atau kelompoknya yang terbatas, mengenyampingkan sisi pandang pihak lain, apalagi pihak lawan.  Tapi inilah keyakinan mereka, tidak ada yang berhak mengubah keyakinan mereka kecuali diri mereka sendiri, ”Tidak ada paksaan dalam agama”.

Sebaliknya mereka yang beriman, percaya bahwa ”RahmatNya meliputi segala sesuatu”, mengejewantahkan pula visi ini dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dalam sikap yang lebih memaafkan dan kasih sayang terhadap sosok-sosok yang ada disekeliling mereka, ramah terhadap alam sekitar, memantulkan sifat Ar-RahmanNya.  Keyakinan ini berhubungan dengan energi cakra keempat yang biasa juga disebut dengan cakra jantung. 

Energi cakra kelima merupakan pantulan dari sisi Ar-RahimNya, sisi keadilan / keseimbangan / wisdom / pengetahuan yang menembus ruang-waktu.  Manusia yang teguh di jalan Tauhid memantulkan kedua sifat utama Tuhan, Ar-Rahman dan Ar-Rahim, sifat pemaaf / kasih sayang dan sifat adil / seimbang tanpa adanya kontradiksi.

Pemaafan kalau kita perhatikan dengan seksama adalah suatu ketidak seimbangan.  Kontradiksi ini baru hilang kalau kita bisa menjadi hambaNya (sisi inferioritas) dan wakilNya (sisi superioritas) sekaligus, di mana kedua perasaan inferioritas dan superioritas menjadi tidak relevan.  Yang dilihat, dirasakan Semua sebagai Satu adanya.

Kondisi yang disebut terakhir adalah saat energi cakra keenam berkembang yang di tanah Jawa biasa disebut sebagai  ”Manunggaling Kawala Gusti” atau "Wahdatul Wujud" bagi para Sufi atau para New Ager menyebutnya taraf ”Oneness with All”, because ”All is One”.